SEARCH :
  • posted by Nov 27th, 2009

    Masjidil Haram

    Masjidil Haram

    Hari ini adalah hari besar bagi umat Islam selain hari Raya Idul Fitri. Bahkan di negara-negara Arab, Hari Raya Idul Adha disambut lebih meriah daripada Hari Raya Idul Fitri.

    Kebetulan, pada khutbahnya pagi ini di Mesjid Al Bakrie Jakarta, Ustad Syahrul menyampaikan dua hikmah Idul Adha yang musti terus diingat oleh seorang muslim. Yakni persatuan dan pengorbanan.

    Hikmah pertama, persatuan, tercermin dari ritual Haji yang dicontohkan oleh Nabi SAW, dan dilaksanakan hingga kini. Di sana, jemaah haji dari seluruh penjuru dunia, dari berbagai ras dan bangsa, bersatu berkumpul bersama, menyambut panggilan suci dalam satu seruan: LabbaikAllahumma labbaik!

    Mereka saling membantu, tolong menolong, seperti Arafah, Mina, larut dalam lautan nuansa putih kain ihram yang mereka kenakan. Tak ada lagi status sosial, atau jabatan yang disandang. Semua sama di hadapan Allah SWT. Yang membedakan hanya ketakwaan. Mereka semua satu, bersaudara, seperti sebuah bangunan yang saling mengokohkan.

    Hikmah kedua, pengorbanan, direfleksikan dari sebuah peristiwa agung ketika Nabi Ibrahim AS rela mengorbankan segenap apa yang ia cintai, demi mencapai ridho Illahi.

    Setelah sekian lama tak memiliki keturunan, dan kemudian dianugerahi anaknya semata wayang, Ismail (saat itu Ishak belum lahir), akhirnya Nabi Ibrahim mendapat wahyu untuk mengurbankan nyawa anaknya yang begitu ia cintai.

    Ibrahim tetap ikhlas menjalankan perintah Allah SWT. Bisikan syaithan yang hendak mengendurkan ketetapan hatinya dijawab dengan lontaran batu ke arah syaithan sehingga pada Ibadah Haji dilakukan ritual lempar jumrah.

    Inilah sebenar-benarĀ  totalitas pengurbanan, baik dalam bentuk materiil maupun immateriil. Wujud dari rasa beriman dan berhijrah. Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang mau berkurban kepada Allah, juga memberi manfaat bagi sesamanya bukan?

    Itu tadi hikmah Idul Adha yang membekas dari khutbah UstadĀ  Syahrul. Tentu tiap orang memaknai Idul Adha secara berbeda. Bagaimana hikmah Idul Adha bagi Anda?

5 Responses to “Persatuan dan Pengorbanan: Sebuah Refleksi dari Khutbah Idul Adha”

  1. Rina Fitriani says:

    nomor contact : 022921******

    • Anindya says:

      Mbak Rina, Anda meletakkan nama dan no kontak di boks yang salah. Seharusnya di boks komentar artikel berjudul “Tiket Gratis Nonton Nidji, Vagetoz, Dewi Sandra, di Bandung. Siapa Mau?”
      Thanks.

  2. agus riyanto says:

    Berarti untuk recordingnya di CD yang dilengkapi dengan rainbow ring technologi ini sudah dipakai diHongkong untuk menghindari pembajakan, tp untuk di Indonesia apakah sudah ada atau belum sy belum tahu, mudah2an ini salah satu cara untuk menghindari pembajakan.

  3. LEO KRISTOFER GINTING says:

    Pembajakan akan berkurang kalau ada niat yang serius dari pelaku bisnis dan didukung oleh aparat kepolisian yang terus menerus melakukan razia di setiap tempat penjualan cd dan kaset. Razia ini harus continue berkesinambungan, karena masyarakat kita masi kurang mampu membeli dan tidak memiliki kesadaran yang baik untuk menghargai karya orang lain, Bisa juga dengan cara mengurangi cost produksi sehingga harga cd asli dengan bajakan tidak terlalu jauh.

    Thanks

  4. Bagi saya saat masih kecil dulu, secara sederhana, Idul Adha adalah saat untuk berkumpul bersama keluarga besar, melantunkan kalimat takbir, sholat Ied bersama di pagi hari dan disempurnakan dengan acara membakar sate bersama-sama. Momen yang indah yang hanya bisa dilaksanakan setahun sekali, melengkapi momen lain di Hari Raya Idul Fitri.
    Sekarang, Idul Adha dilewati bersama istri dan anak tercinta di rumah. Kesempatan untuk mudik ke rumah keluarga besar hanya dimungkinkan pada saat Idul Fitri. Dan saat ini memandang Idul Adha sebagai satu momen untuk melakukan pengorbanan kepada Allah dengan ikhlas. Setelah memiliki seorang putri kecil, saya jadi bisa membayangkan bagaimana beratnya ujian seorang Ibrahim yang berpuluh tahun tidak dikarunai anak tiba-tiba diberi sabda dari Allah untuk menyembelih anaknya. Jangankan menyembelih anak sendiri, untuk menyembelih seekor kambing saja saya ngeri…
    Karena itu, dalam keadaan ekonomi lapang atau sempit, berqurban bagi saya sekarang, itu menjadi sebuah kewajiban. Itupun dengan catatan, apapun hewan qurban yang saya persembahkan, rasanya tidak akan pernah mampu menandingi teladan keikhlasan yang dicontohkan Nabi Ibrahim.

Leave a Reply