-
posted by Anindya Jun 10th, 2011
Selama ini banyak orang bertanya kepada saya soal pengalaman saya menjadi penerus bisnis keluarga.Saya terlahir sebagai anggota generasi ketiga di keluarga Bakrie, yang selama ini dikenal sebagai keluarga pengusaha. Terkadang ada yang mempertanyakan, apakah saya atau saudara-saudara saya lainnya, bisa sukses meneruskan bisnis keluarga.
Ini karena ada stigma bahwa generasi penerus hanya orang yangberuntung dan tidak perlu berusaha keras, tinggal mewarisi hasil kerja generasi sebelumnya. Anggapan itu tidak benar.
Hal itu juga mengemuka saat acara “Globe Young Leaders Forum”, di Hotel Kempinski, Jakarta, Senin, 6 Juni 2011 lalu. Saat itu, saya diundang berbicara dalam sesi diskusi “2nd Generation Corporate Leaders: Opportunities and Challenges”. Di acara tersebut, juga hadir Vice President of Trump Organization, Donald Trump, Jr., yang merupakan anak pengusaha ternama Amerika Serikat, Donald Trump.
Trump sama dengan saya, yaitu sama-sama penerus bisnis keluarga. Dia penerus bisnis keluarga Trump, saya penerus bisnis keluarga Bakrie. Bedanya, dia generasi kedua, saya generasi ketiga.
Dalam acara tersebut, banyak yang bertanya kepada saya dan Trump soal bagaimana pengalaman meneruskan bisnis keluarga. Bagaimana mengembangkan bisnis keluarga. Dan sebagainya. Lalu, Trump menceritakan bahwa menjadi penerus binis keluarga tidak semudah yang diduga orang.
Dia menceritakan bahwa mungkin orang menduga hidupnya, sebagai anak raja properti Amerika Serikat,enak dan mudah. Uang berlimpah dan fasilitas meruah. Namun tidak semua orang tahu bahwa justru selama ini dia harus bekerja lebih keras dari orang lain. Bahkan, dia mengaku kekurangan waktu untukberistirahat. Trump juga bercerita bagaimana dia belajar bisnis sejak usia muda dari ayahnya. Di perusahaan, dia juga harus merangkak dari bawah, bukan langsung mendapat jabatan tinggi di perusahaan keluarganya itu.
Pengalaman yang diceritakan Trump secara umum tidak berbeda dengan pengalaman saya. Kami sama-sama lahir dan besar dalam keluarga pengusaha dan ditanamkan nilai-nilai wirausaha sejak usia belia. Sebagaimana Trump, saya juga dididik berbisnis mulai dari bawah. Bahkan sebelum memegang bisnis keluarga, saya juga pernah bekerja di sebuah perusahaan keuangan di Amerika.
Pulang ke Indonesia,keluarga mendidik saya dengan memberikan perusahaan yang kondisinya sangat buruk untuk saya tangani. Saat itu keluarga tidak campur tangan, saya diminta menyelesaikannya sendiri. Berat memang. Sampai-sampai istri saya berkata pada saya; “kok demen amat ama perusahaan bangkrut..” saya jawab saja; ”habis gimana lagi, adanya begini.” Saya hadapi itu sebagai tantangan. Saya dituntut membuktikan bahwa saya bisa melakukannya. Ini adalah ujian yang diberikan pada saya, dan saya harus lulus.
Seperti yang sudah saya tulis pada tulisan sebelumnya, saya membangun Bakrie Telecom (BTEL)–yang saat ini merupakan salah satu market leader operator telekomunikasi CDMA–dari puing-puing. Keluarga mengamanatkan saya untuk menangani sebuah perusahaan yang ketika itukondisinya sangat buruk, namanya Ratelindo. Jumlah pelanggannya hanya 100 ribu, utangnya cukup besar.Saya lalu bekerja keras memperbaikinya dan, alhamdulillah, sukses. Salah satu produk BTel, Esia, menjadi perintis operator telekomunikasi murah di Indonesia. Hadirnya Esia berhasil mengubah struktur pasar dan persaingan operator telekomunikasi di Indonesia, di mana semula operator dinilai terlalu banyak mengambil untung dengan menetapkan harga tinggi yang memberatkan konsumen.
Ketika masuk ANTV pada tahun 2002, stasiun tv nasional itu hampir bangkrut karena dililit utang. Dalam waktu dua tahun saya lalu melakukan restrukturisasi dan utangnya menjadi nol. Sekitar 80 persen utang perusahaan menjadi penyertaan modal. Hal yang sama saya lakukan saat mengambil alih Lativi pada Maret 2007. Ketika itu, perusahaan TV ini juga dililit utang cukup besar. Rating dan audience share-nya selalu berada di urutan terbawah. Akhirnya, dengan kerja keras, pada Februari 2008 Lativi berubah menjadi tvOne, yang menjadi televisi papan atas Indonesia.
Saat perusahaan keluarga Bakrie jatuh terkena imbas krisis 1997 saya juga ikut merasakan. Saat itu ayah saya berkata pada saya sambil menunjuk seorang pengemis. “Nin lihat pengemis itu, kita lebih miskin dari dia,”. “Loh kok bisa,” kata saya. “Iya, dia miskin tapi hutangnya gak banyak, kita sekarang punya banyak hutang yang jauh lebih besar dari apa yang kita punya,” jelas ayah saya kala itu. Tapi Alhamdulillah akibat kerja keras dan semangat besar untuk bangkit akhirnya perusahaan Bakrie bisa bangkit lagi dan menjadi lebih besar. Saya banyak belajar dari sana.
Dalam berbisnis, Trump mengaku juga banyak belajar dari ayahnya. Dia juga menceritakan beberapa kiat bisnis yang diajarkan ayahnya selama ini–seperti berpikir besar atau mencari ide-ide besar, mempercayai insting,pentingnya timing, dan sebagainya. Dalam hal ini, saya merasa lebih beruntung. Di keluarga saya, bukan hanya Ayah saja yang mengajari saya nilai-nilai kewirausahaan. Ada banyak role model di keluarga saya–ada kakek saya, Ahmad Bakrie almarhum, juga Oom dan Tante saya. Semua memberikan kontribusi dalam menciptakan jiwa wirausaha dalam diri saya. Bekal ilmu dari mereka inilah yang kemudian membimbing saya menjalankan tugas-tugas berat yang diamanatkan kepada saya untuk meneruskan bisnis keluarga.
Dalam meneruskan bisnis keluarga, saya selalu berupaya untuk tidak hanya fokus pada upayamembesarkan bisnis saja. Saya juga selalu berusaha menciptakan ekosistem yang mendukung bagi lahirnya para entrepreneur atau wirausaha baru. Keyakinan saya: makin banyak pengusaha, makin baik. Mereka bukan pesaing, melainkan mitra dalam mengelola potensi usaha di negeri ini.
Dalam membesarkan bisnis keluarga, saya juga harus memikirkan bagaimana perkembangan bisnis Bakrie bukan hanya menguntungkan kelompok Bakrie, namun juga orang banyak. Maka itu, berbagai upaya di sektor pendidikan, lingkungan, dan lainnya, juga kami tempuh. Pesan kakek saya sangat jelas: “setiap rupiah yang dihasilkan Bakrie, harus bermanfaat bagi orang banyak”.
Itulah sedikit pengalaman yang bisa saya bagi di blog ini, sebagai penerus bisnis keluarga. Saya setuju ketika Trump mengatakan, meneruskan bisnis keluarga tidaklah mudah. Meneruskan bisnis keluarga yang sudah besar, ibarat seorang atlit yang dituntut mempertahankan gelar juara. Kita semua tahu, mempertahankan lebih sulit dari meraih.
Sebagai penerus, kita tidak hanya wajib mempertahankan capaian yang ada, tapi juga harus meraih capaian yang lebih besar lagi. Apalagi, generasi penerus biasanyamengenyam pendidikan yang lebih tinggi dibanding para pendahulunya.
Tidak jarang, para penerus bisnis keluarga gagal mengemban tugas berat ini. Karena itu sampai-sampaiada yang mengatakan: generasi pertama membangun, generasi kedua mengembangkan, generasi ketiga merobohkan. Trump, saya, dan kita semua sebagai generasi penerus harus bekerja kerja untuk membuktikan bahwa anggapan itu tidaklah benar.
Leave a Reply
INSTAGRAM
TWITTER
FACEBOOK