-
posted by Anindya Aug 22nd, 2012
Pekan lalu, 8-9 Agustus, baru saja diselenggarakan Konferensi Internasional Triple Helix ke-10 di Bandung. Institut Teknologi Bandung menjadi tuan rumah bekerja sama dengan Kementerian Riset dan Teknologi serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Walaupun sangat penting, forum yang dimaksudkan sebagai bagian dari perayaan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional yang jatuh pada tanggal 10 Agustus itu tampaknya luput dari perhatian publik.
Sinergi tiga pihak
Sebagai konsep, gagasan utama Triple Helix adalah sinergi kekuatan antara akademisi, bisnis, dan pemerintah. Kalangan akademisi dengan sumber daya, ilmu pengetahuan, dan teknologinya memfokuskan diri untuk menghasilkan berbagai temuan dan inovasi yang aplikatif. Kalangan bisnis melakukan kapitalisasi yang memberikan keuntungan ekonomi dan kemanfaatan bagi masyarakat. Sedang pemerintah menjamin dan menjaga stabilitas hubungan keduanya dengan regulasi kondusif (Etzkowitz&Leydesdorff, 2000).
Konsep triple helix relevan bagi Indonesia saat ini ketika ekonomi Indonesia begitu menjanjikan dan menjadi salah satu pasar yang sedang bertumbuh, para investor asing berdatangan ingin menanamkan modal.
Menurut Global Competitiveness Report terkini, Indonesia duduk di peringkat ke-30 dari 142 negara, ditilik dari kapasitas inovasinya. Ini merupakan keunggulan komparatif yang tak bisa dipandang sebelah mata karena Indonesia bahkan mengungguli negara berekonomi lebih maju, seperti Spanyol di peringkat ke-36 dan Hongkong peringkat ke-39. Namun, ironisnya angka pengangguran lulusan perguruan tinggi di Indonesia mencapai 1,2 juta orang (2012).
Kondisi ini menunjukkan bahwa belum ada padu padan (link and match) antara kampus dan pasar kerja. Dalam tataran ideal, kampus seharusnya menjadi motor penggerak penciptaan lapangan kerja, bukan sekadar menghasilkan pencari kerja. Kita terpaksa harus mengakui, perguruan tinggi baru sebatas menjadi ”mesin” yang memproduksi sebanyak mungkin sarjana.
Contoh sukses penerapan konsep Triple Helix adalah Stanford University dengan Silicon Valley. Sejumlah perusahaan kaliber dunia bermunculan dari lembah ini. Beberapa di antaranya Hewlett&Packard, Fairchaild Semiconductor, raksasa dunia mesin pencari Google Inc, dan Youtube. Yang paling fenomenal belakangan ini adalah situs berbagi foto Instagram yang baru saja diakuisisi Facebook sebesar 1 miliar dollar AS. Jumlah tenaga kerja yang mereka serap dan kapitalisasi sangat besar. Belum lagi dampaknya terhadap perubahan dunia.
Sudah seharusnya perguruan tinggi di Indonesia didorong untuk melahirkan technopark semacam Silicon Valley. ITB harus melahirkan ”Priangan Valley”, Universitas Indonesia, Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya, Universitas Hasanuddin, Universitas Sumatera Utara, dan seterusnya harus melahirkan sejumlah technopark yang menghasilkan berbagai inovasi.
Era baru
Kita hidup pada sebuah masa di mana laju inovasi sangat cepat. Akuisisi Instagram oleh Facebook mencengangkan karena menandakan betapa cepatnya inovasi dapat berkembang. Sepanjang abad ke-20 silam, inovasi bergulir mengikuti rasio 10/10: satu dekade diperlukan untuk mengembangkan dan satu dekade lagi diperlukan untuk memasarkan. Saat ini, sebagaimana diilustrasikan oleh Instagram, rasio tersebut terkompresi ke 1/1.
Internet sering disebut sebagai kekuatan yang mendorong percepatan. Tidak diragukan lagi, internet dengan etos utamanya—konektivitas, open source, kebebasan ekspresi, dan crowdsourcing—memang merupakan teknologi yang produktif. Akan tetapi, sejatinya inovasi bersumber pada orang-orang yang menghadirkan solusi terhadap masalah.
Dalam bukunya, Where Good Ideas Come From, Steven Johnson mengemukakan bahwa lingkungan berperan penting dalam proses inovasi. Internet merupakan lingkup virtual yang memunculkan dan melanggengkan gagasan. Akan tetapi, ruang kota adalah lanskap alami yang paling memungkinkan, melalui berbagai interaksi antarmanusia yang sering kali tanpa disengaja, tebersitnya gagasan awal yang mengarah ke inovasi.
Lingkup urban, dengan kepadatan penduduk yang tinggi, menghadirkan serangkaian masalah sosial. Namun, ia juga memunculkan beragam subkultur yang mendorong gagasan untuk berpadu. Maka kebisingan, keramaian, dan kemacetan justru menjadikan penghuni kota yang berpenduduk tiga juta orang tiga kali lebih kreatif daripada mereka yang tinggal di kota kecil berpopulasi seratus ribu orang.
Mempertimbangkan hal ini, prospek inovasi dalam negeri terlihat cerah bagi Indonesia di mana baik penetrasi internet maupun urbanisasi tengah melaju dengan pesat. Terdapat 50 juta pengguna internet pada 2010, angka ini akan menjadi tiga kali lipat pada 2014. Laju urbanisasi juga akan melonjak dari 52 persen pada 2010 menjadi 75 persen pada 2025, di mana Indonesia akan memiliki 200 juta penduduk kota.
Meskipun demikian, faktor utama yang menentukan adalah lingkup ideologi. Era Reformasi sejak 1998 menghadirkan demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi. Ketiga proses paralel ini telah menciptakan budaya kebebasan sipil, terutama hak berekspresi.
Contohnya lima juta pengguna Twitter menyumbangkan 15 persen dari kicauan harian dunia. Indonesia saat ini adalah sebuah masyarakat yang terbuka dan kritis, tak mungkin lagi berbalik arah dari reformasi yang sudah bergulir. Perpaduan tiga lingkup teknologi, fisik, dan ideologis ini menjadikan Indonesia ranah yang subur bagi inovasi.Inovasi lokal
Kuncinya adalah bagaimana membuat inovasi dan percepatannya sebagai keunggulan komparatif Indonesia di era internasionalisasi atau regionalisasi. Pemerintah dengan berbagai prosesnya lamban dalam mengelola ranah ini, sementara investor masih bersikap menghindari risiko karena belum yakin dengan peraturan yang berlaku. Akademis jelas membutuhkan reformasi mengingat kurikulum yang tertinggal dan statistik bahwa hanya 16,7 persen penduduk Indonesia mengenyam pendidikan tinggi, dibandingkan 32.4 persen di Malaysia dan 43 persen di Thailand.
Keberagaman Indonesia juga merupakan keuntungan karena artinya inovasi di Indonesia akan banyak mendapat inspirasi. Inovasi bisa hadir kapan saja dan dari mana saja seiring dengan maraknya teknologi dan interaksi yang berintensitas tinggi antara manusia dan gagasan. Yang penting dicetus dari dan untuk pasar lokal karena di situ justru solusi yang relevan dengan kondisi terkini sedang dinanti-nantikan oleh masyarakat.
Sekali saja suatu inovasi dianggap relevan oleh masyarakat lokal, dengan cepat inovasi tersebut berintegrasi aktivitas masyarakat sampai menjadi bagian dari interaksi sosial, ekonomi yang pada akhirnya menjadi bagian dari budaya setempat. Hasilnya adalah inovasi sebagai bagian dari proses penguatan dan penyebaran budaya, bukan sekadar produk yang mengancam budaya lokal. Setiap manusia pada dasarnya tidak terlepas dari akar budayanya. Maka, budaya bisa menjadi kekuatan daya saing utama di pasar internasional.
*Artikel ini juga dimuat di Harian Kompas, 22 Agustus 2012
Leave a Reply
INSTAGRAM
TWITTER
FACEBOOK