SEARCH :
  • posted by Mar 14th, 2016

    4th induatrial revolutionPada mulanya manusia hidup dengan berburu dan mengumpulkan makanan (hunter-gatherer). Kemudian ditemukan teknologi menjinakkan dan beternak hewan, juga bertani. Teknologi awal ini kemudian mempermudah manusia mencari makan dan memperbaiki asupan gizinya. Ini juga mengubah pola hidup manusia yang awalnya berpindah-pindah (nomaden), menjadi menetap, lalu tumbuhkan permukiman, kota, dan peradaban.

    Ribuan tahun manusia bergantung pada teknologi yang mengandalkan otot manusia dan hewan. Sampai akhirnya mesin uap yang ditemukan James Watt pada 1769 menggantikan tenaga otot itu. Kereta api uap juga lebih unggul memangkas jarak dan waktu dibandingkan kendaraan yang ditarik hewan. Penemuan mesin-mesin mekanik bertenaga uap dan air inilah yang kemudian memicu revolusi industri pertama pada 1784.

    Lalu pada 1870, revolusi industri kedua bergulir. Di era ini, tenaga listrik berperan besar. Dengan mesin listrik, produksi masal dan efisiensi produksi pun dimungkinkan. Disusul dengan berkembangnya teknologi elektronik dan ditemukannya komputer yang kemudian melahirkan revolusi industri ketiga pada 1969. Di era ini, komputer personal, dan teknologi informasi mempermudah produksi. Revolusi industri ketiga ini juga merupakan fondasi dari revolusi industri keempat yang terjadi saat ini.

    Di era revolusi industri keempat ini, terjadi fusi berbagai kemuajuan teknologi. Inovasi bergerak cepat dan semua serba terkoneksi. Ini eranya internet of things (IoT), bahkan intenet of everything yang ditandai dengan adanya kecerdasan buatan (artificial intelligence), self driving car, 3D printing, dan teknologi pintar lainnya.

    Tahapan revolusi industri sampai revolusi industri keempat itu dirangkum dengan baik oleh Klaus Schwab pendiri World Economic Forum (WEF) dalam buku “The Fourth Industrial Revolution“. Itu juga menjadi tema WEF tahun ini, di mana saya juga hadir di dalamnya.

    Di era revolusi industri keempat ini, inovasi bergerak cepat dan hampir semua orang bisa membuat produk atau layanan baru secara murah dan cepat. Apa yang ada di smartphone kita dengan berbagai aplikasinya saat ini, mungkin secanggih mainframe sebuah negara 10 tahun lalu.

    Apa yang terjadi ini jelas akan mengubah pola bisnis yang ada secara besar-besaran. Jika dulu orang belanja di mal, kini ada belanja online, orang tidak lagi butuh mobil, karena ada Uber. Orang tidak harus punya kantor, karena ada virtual office, sisa kamar di rumah juga bisa disewakan di Airbnb, dan lain sebagainya.

    Namun untuk Indonesia, ini akan unik. Sebab tidak seperti negara maju, di sini, revolusi industri yang kedua dan ketiga juga sedang berjalan. Kita masih berupaya membangun pabrik, membangun konektivitas, dan lain sebagainya. Di saat yang sama kita juga masuk ke tahapan keempat. Meski demikian, Indonesia tetap harus menjawab bisnis model yang berubah ini.

    Saya yakin Indonesia akan bisa bersaing dengan negara maju soal ini. Jika Amerika mencapai itu dalam 10 tahun, Tiongkok lima tahun, mungkin Indonesia bisa mencapai dalam tiga atau empat tahun. Karena potensi Indonesia cukup besar dan cepat belajar dari negara lain.

    Apalagi pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam hal ini. Kunjungan Presiden Jokowi ke Silicon Valley dan pertemuannya dengan petinggi perusaahan digital beberapa waktu lalu adalah buktinya. Pemerintah ingin menjadikan Indonesia sebagai “Energi Digital Asia” dengan membantu akselerasi dan memberdayakan usaha kecil dan menengah (UKM) berbasis digital economy.

    Pemerintah juga menyiapkan banyak kebijakan yang mendukung hal itu. Misalnya untuk pendanaan ada rencana mengalokasikan 30 persen dari kredit usaha rakyat (KUR) untuk perusahaan digital atau startup. Stock market board khusus startup, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk kebijakan, ada “safe harborregulations untuk melindungi pemain e-commerce, program menciptakan 1000 digital technopreneur nasional, dan lain sebagainya. Artinya ini angin segar bagi para digital technopreneur. Aturan mendukung dan pendanaan akan lebih mudah.

    Di Kadin Indonesia sendiri juga menjadikan hal tersebut sebagai prioritas. Maka dibentuklah Badan Inovasi Teknologi Startup (BITS) yang dipimpin oleh Patrick Walujo. Di dalamnya banyak digital technopreneur yang membantu, sebut saja Alvin Sariaatmadja, Nadiem Makarim, Wiliam Tanuwijaya, dan lain lain. Sementara untuk bidang industri kreatif, ada Sandiaga Uno, dan untuk telematika ada Ilham Habibie.

    Tak hanya pemerintah dan dunia usaha, pihak akademisi pun rupanya juga menyambut hal tersebut. Misalnya saat saya ke Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM) juga sudah siap ke arah sana. Bahkan di Yoga ini Triple Helix (sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan akademisi) sudah berjalan. Triple Helix ini adalah kunci yang dibutuhkan Indonesia dalam menyambut tantangan dan sukses meraih peluang di era revolusi industri keempat.

    Kita harus hati-hati. Karena persaingan di era ini juga tidak mudah. Banyak yang ingin masuk ke Indonesia, apalagi di era ASEAN economic community seperti saat ini. Belum lagi sifat digital economy yang global di hari pertama: hari ini muncul, hari ini juga sudah masuk ke mana-mana, karena pasarnya juga tak ada batas.

    Era revolusi industri keempat ini adalah peluang, kita bisa melesat menjadi negara maju melalui ini. Tapi juga harus waspada, sebab kalau tidak hati-hati bisa sebaliknya: kita hanya menjadi pasar dan penonton saja.

Leave a Reply