-
posted by Anindya Nov 4th, 2016
Saya kembali ke Pulau Bali untuk kesekian kali. Kali ini saya ke Pulau Dewata untuk menghadiri sebuah acara yang cukup menarik yaitu 2016 Eisenhower Fellowship Regional UnConference. Acara yang bertema “ASEAN Unity through Changes and Innovation” ini digelar di Nusa Dua, Bali, tanggal 28-29 Oktober 2016 lalu.
Hadir dalam acara itu sejuhlah tokoh yang menjadi pembicara dan menyampaikan pandangannya. Mereka antara lain: Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Prof. Dr Bambang Soemantri Brodjonegoro, Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Marie Elka Pangestu, Mantan Gubernur New Jersey yang juga President The Whitman Strategy Group dari AS dan Ketua Dewan Eksekutif Eisenhower Fellowships Christine Whitman, Gubernur Bank Sentral Thailand Veerathai Santiprabhob, Founder/Chairman ACER Stan Shih, dan lain-lain.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Alumni Eisenhower Fellowships ini ada sekitar 20 pembicara yang semuanya adalah alumni. Mereka membahas seperti apa perubahan dan inovasi yang dapat menyatukan ASEAN.
Saya sebagai anggota Board of Trustees Eisenhower Fellowship juga memberikan pidato dan pandangan dalam acara tersebut. Lima tahun lalu, saya juga hadir di acara yang EF dan memberikan pidato juga.
Saat menyusun pidato untuk acara kali ini, saya sempat melihat pidato lama saya di acara sebelumnya, ternyata bapak pandangan dan prediksi saya lima tahun lalu yang meleset. Ternyata dalam waktu singkat dunia sudah berubah.
Pada tahun 2011, saya memiliki pandangan optimis tentang globalisasi, perdagangan bebas, dan integrasi ekonomi. Tapi, apa yang terjadi saat ini sangat tidak menggembirakan. integrasi ekonomi ditantang dengan cara yang serius. BREXIT, sebagai contoh, mempertanyakan keberadaan dan relevansi serikat politik-ekonomi seperti Uni Eropa. Saat itu saya sangat yakin bahwa krisis ekonomi yang dimulai oleh sub prime mortgage di Amerika Serikat sudah berlalu. Tapi IMF memprediksi pertumbuhan global untuk 2017 hanya 3,4 persen, masih di bawah 5 persen rata-rata sebelum krisis 2008.
Kita tidak hanya memiliki pertumbuhan yang lambat, tapi juga mengalami pertumbuhan dengan tidak adanya pertumbuhan lapangan kerja. Akibatnya pengangguran meningkat. Dikombinasikan dengan ketidakstabilan ekonomi dan politik golobal, perang, kerusakan lingkungan, semakin terbatasnya sumber daya untuk generasi yang akan datang, dan lain sebagainya. Ini semua memperlihatkan bahwa dalam waktu yang singkat, dunia menjadi lebih tidak pasti, tidak stabil, dan tidak berkelanjutan.
Saya katakan, yang harus dilakukan sekarang adalah tetap waspada, namun juga jangan khawatir berlebihan. Krisis memang bisa terjadi kapan pun, namun saya yakin kita bisa melewatinya. Sebagai orang Indonesia atau Asia Tenggara, hal serupa pernah kita alami di tahun 1997-2001. Kita mengalami langsung, dan belajar banyak dari sana dari pengalaman bertahan hidup di situasi tersebut.
Maka dari pengalaman itu mengatasi krisis multidimensional itu, apa yang bisa kita bagikan pada dunia, dan apa yang bisa EF lakukan untuk membantu?
Kita bisa mengambil pelajaran dari bagaimana kita mengatasi atau melewati krisis 1997-2001. Banyak pelajaran dari Indonesia dan ASEAN yang bisa diambil. Kita juga bisa mengambil pelajaran lain misalnya terkait inovasi bisnis. Bagaimana Amerika bangkit kembali secara ekonomi dengan hadirnya perusahaan seperti Uber, Airbnb, Facebook, dan lain-lain, yang mengusung demokratisasi ekonomi dan model bisnis sharing economy. Sekarang kapitalisasi pasar mereka telah membuat perusahaan-perusahaan lama menjadi kerdil.
Selain itu soal integrasi ekonomi, ASEAN adalah kisah sukses. Saya yakin Masyarakat Ekonomi Asean akan menjadi kenyataan satu hari. Mungkin tidak seperti prediksi kita di awal, tapi itu akan terjadi.
Dalam kesempatan itu, saya juga menekankan bahwa pada dasarnya Alumni EF bisa melakukan yang terbaik karena mereka memiliki sumber daya dan pengaruh. Alumni EF dapat memanfaatkan pengalaman, pengetahuan, dan jaringan menuju tujuan bersama: dunia yang lebih baik. Ini sesuai dengan tagline EF yaitu: Leaders Bettering the world around them.
Kita tahu, alumni EF banyak yang merupakan tokoh-tokoh yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Maka untuk melakukan hal tersebut bukanlah perkara yang susah.
Di acara tersebut, hadir juga alumni penerima beasiswa dari lembaga saya yaitu Bakrie Center Foundation (BCF). Para alumni ini adalah anak muda yang berusia di bawah 30 tahun, para milenial, Master dari universitas terkemuka di Indonesia. Mereka dengan semangat datang ke Bali untuk menambah bengetahuan dengan mengikuti acara EF tersebut. Saat berbincang dengan mereka saya terkejut mendapatkan cerita yang luar biasa dari aktivitas mereka.
Sebagai contoh adalah Ni Wayan Purnami Rusadi atau biasa dipanggil Emick. Penerima beasiswa BCF di Udayana yang memiliki keahlian di bidang agribisnis ini mempraktekkan ilmunya untuk berwirausaha jamur tiram. Dia bahkan menjadi pemimpin yang sudah memberdayakan ratusan ibu rumah tangga dan pelku usaha mikro yang sudah dilatih oleh Emick dalam hal budidaya jamur. Hal ini membuatnya mendapatkan penghargaan sebagai young enterpreneurship level propinsi Bali, dan terpilih mewakili Indonesia pada pameran demo makanan sehat sedunia yang berlangsung di Milan, Italia, setelah mengalahkan puluhan kandidat.
Ada juga Sukriadi Siregar, dari Unila, bidang Ilmu Hukum. Saat ini dia menjadi pengacara yang bergerak di bidang advokasi hak-hak kaum yang termarginalkan. Di bidang yang sama ada Kadarudin, dari Unhas, yang saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral sambil aktif dalam komunitas Anti Perdagangan Manusia.
Di bidang kesehatan, ada Richard Palilingan, dari Unud yang saat ini jadi dosen di PTN di Sulawesi Utara. Dia aktif di komunitas Public Health Without Border yang membina kesehatan masyarakat nelayan dan pesisir. Syahrida, dari Unhas, yang saat ini jadi perawat di puskemas di Kabupaten Jeneponto dan aktif sebagai koordinator program TBC-HIV Aisyiyah yang membina ratusan kader penyuluhan TBC-HIV. Suami Syahrida kebetulan juga alumni dari bidang dan kampus yang sama yaitu: Sapriadi. Dia saat ini aktif dalam pelayanan bagi penderita penyakit Kusta di Kabupaten Jeneponto.
Dari Unair ada Qurnia Andayani, Unair yang saat ini mahasiswa S3 dan aktif dalam Gerakan Peduli Ibu dan Anak Sehat, Unair, bekerja sama dengan Unicef dan Pemda Jatim. Juga Fatma Yasmin, yang jadi dokter gigi dan aktif dalam Yayasan Kanker Indonesia, terutama untuk bidang penyuluhan Kanker Mulut.
Di bidang sastra ada Ari Dwijayanthi, dari Unud. Dia punya keahlian di bidang Sastra Jawa Kuno. Saat ini aktif konservasi warisan budaya berupa manuskrip-manuskrip kuno yang ada di daun lontar dan bambu. Dari kampus yang sama ada Diartama Kubon, bidang teknik sipil, yang saat ini bekerja di perusahaan konsultan struktur. Minat sosialnya pada merancang desain tahan gempa pada kegiatan renovasi pura.
Sementara dari Unila ada Titin Elyana, yang menekuni bidang pendidikan. Saat ini Kepala Sekolah Internasional Sugar Group, di tengah perkebunan Tebu di Lampung Tengah. Juga Dwipa Donna, yang mempelajari ilmu pemerintahan, dan mempersiapkan diri terjun ke politik.
Selain alumni yang hadir di Bali tersebut, di data alumni saya juga melihat banyak alumni yang membanggakan. Misalnya saja Abdul Narris Agam, penerima beasiswa BCF dari Universitas Hasanudin yang menekuni studi gender. Narris ini bukan berasal dari keluarga berada, orang tuanya adalah keluarga pemulung. Meski demikian semangat dan keuletan usahanya membuat dia bisa menempuh pendidikan tinggi.
Narris saat ini aktif di Institusi Saribattang, sebuah LSM di mana dia menjadi direktur eksekutifnya, yang bergerak dalam bidang advokasi hak anak serta pengembangan skill bagi anak-anak kurang mampu. Terutama anak jalanan dan anak pemulung di sekitar lokasi TPA Sampah Antang, Kota Makassar.
Sudah lebih dari 1000 anak jalanan yang sudah ditolong dan dididik oleh Narris dan lembaganya. Baik berupa pendidikan dasar maupun keterampilan yang berguna bagi kehidupan mereka.
Dari Unhas juga ada Sri Rahmi, yang juga mendirikan LSM yang menggali potensi dan kreativitas anak-anak dan remaja. Sudah puluhan anak berbagai latar belakang utamanya anak jalanan dan anak tidak mampu yang sudah dididik oleh wanita yang juga pemegang sabuk hitam Taekwondo Dan IV dan Aikido Dan I ini.
Di bidang lain ada Pramudita Satria Palar dari Institute Teknologi Bandung (ITB) yang memiliki keahlian di bidang Aeronotika dan Astronika. Dia telah menyelesaikan pendidikan S3 di The University of Tokyo dan mendapatkan Ph.D di bidang Aeronotika dan Astronika. Juga pernah ke Universitas Cambridge dan melakukan riset berkolaborasi dengan Dr Geoff Parks, dengan keahlian teknik dan desain nuklir. Pramudita sekarang fokus mengabdikan diri menjadi ilmuwan. Dia telah menulis delapan proceeding bersama beberapa penulis lain yang telah dipublikasikan dan dipresentasikan dalam beberapa seminar.
Ada juga Iqbal Alfajri (ITB) yang mendirikan komunitas pembelajaran film, Salman Academy, Yessy Momongan (Universitas Samratulangi) yang merupakan aktivis perempuan dan menjadi wanita dan anak muda pertama yang menjadi ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi Sulawesi Utara. Masih banyak lagi ratusan alumni BCF beserta prestasi dan pengabdiannya yang tidak bisa disebut satu persatu, ada hampir 500 alumni BCF di luar sana yang juga tidak kalah hebatnya.
Untuk menjalankan misi tersebut BCF setiap tahun menawarkan 85 beasiswa penuh dalam program Bakrie Graduate Fellowship. Penerima beasiswa akan dibiayai kuliah pasca sarjana di universitas papan atas Indonesia seperti: IPB, ITB, UGM, Unair, Udayana, Uncen, Unhas, Univ Samratulangi, Univ Mulawarman, Univ Andalas, dan Univ Lampung.
Para penerima beasiswa ini akan melalui seleksi yang ketat, selain IPK minimalnya harus 3,50 juga harus memiliki track record kepemimpinan yang baik. Alhamdulillah sejak 2010 sudah ada 461 penerima beasiswa ini.
Selain itu juga ada Bakrie Graduate Fellowship, yang menawarkan dua beasiwa penuh untuk studi master di RSIS setiap tahun. Juga beasiswa non regular yang ditawarkan untuk qualified person yang diterima di universitas top dunia seperti Harvard Kennedy School dan Stanford University. Sudah ada sembilan orang ke RSIS NTU dan satu orang ke Harvard Kennedy School.
Yang tak kalah penting, BCF juga membuat Alumni Relation Program. Program ini melakukan mentroring terhadap alumni untuk membangun jaringan dalam komunitasnya dan membantu menjembatani dengan organisasi dan masyarakat yang lebih luas lagi, termasuk dengan alumni EF.
Melihat apa yang dilakukan alumni ini saya menjadi gembira dan lega. Karena ini menunjukkan bahwa visi BCF yaitu mencetak pemimpin di semua level masyarakat, demi mendorong kemajuan Indonesia, terlaksana dengan baik. Ini juga sejalan dengan apa yang diupayakan EF.
Memang mungkin untuk saat ini alumni BCF belum ada yang menjadi pemimpin besar seperti yang dihasilkan EF sebagai lembaga yang lebih tua. Namun saya yakin suatu saat nanti pemimpin muda yang dicetak BCF akan menjadi pemimpin besar dan aktor-aktor yang menjadi penggerak kemajuan Indonesia dan dunia. Apalagi setelah mendapat bekal dari mengikuti acara di Bali.
Dengan sumbangsi alumni EF dan BCF ini saya yakin akan mampu membawa perubahan yang besar baik untuk Indonesia maupun dunia. Karena itu kami akan terus mencetak pemimpin muda dan mendorong terus para alumni untuk berkontribusi aktif di masyarakat baik sosial, bisnis, maupun akademis. Ini memang sebuah usaha yang harus dilakukan dalam jangka panjang dan terus menerus.
Leave a Reply
INSTAGRAM
TWITTER
FACEBOOK