-
posted by Anindya Feb 22nd, 2011
Hari Rabu, 16 Februari 2011 lalu, saya diundang oleh Universitas Trisakti untuk memberikan kuliah umum. Acara ini digagas oleh Lembaga Kepresidenan Masyarakat Mahasiswa (Kepresma MM) Universitas Trisakti. Di sana saya memberikan kuliah umum mengenai “2011 Indonesia Economic Outlook: Opportunities & Challenges”.
Menyampaikan gagasan dengan memberikan kuliah umum di kampus seperti ini bukan yang pertama. Sebelumnya saya memberikan kualiah di Kampus Prasetya Mulia. Tapi, tetap saja pengalaman menjadi dosen dadakan memberi kesan tersendiri. Apalagi pada acara itu banyak mahasiswa yang hadir.
Selain dipenuhi mahasiswa Trisakti, di Auditorium Gedung D Trisakti yang jadi tempat kuliah, juga tampak mahasiswa Universitas Bakrie. Saya sengaja mengajak mereka agar bisa ikut mendengar kuliah saya. Agak aneh memang, saya sendiri sebagai Pelindung Universitas Bakrie, justru belum pernah memberikan kuliah umum di sana. Tapi dengan mengajak mahasiswanya ke Trisakti ya sama saja.
Kuliah siang itu saya mulai dengan menjelaskan mengenai kondisi ekonomi global. Mengenai pemulihan ekonomi seusai krisis keuangan global, mengenai anomali pemulihan ekonomi global, ketimpangan ekonomi global, dan lain sebagainya. Saya juga menjelaskan bahwa dalam kondisi sekarang ini perekonomian Indonesia cukup baik. PDB sudah mencapai USD 3.000 miliar. Prediksi pada 2014 mencapai USD4.250 miliar. PDB kita ini sesungguhnya sudah sekitar 40 persen dari perekonomian ASEAN.
Kalau ke depan bisa sampai 50 persen, saya kira lebih bagus. Artinya, kalau analogi perusahaan, kita adalah pemegang saham terbesar di ASEAN. Artinya, pangsa kita semakin besar. Sekarang perekonomian kita sudah peringkat 13, dan siapa tahu bisa masuk 10 besar pada 2020.
Saya juga ceritakan bahwa saya baru saja menghadiri World Economic Forum di Davos, Swiss. Dalam pertemuan yang dihadiri para pimpinan perusahaan dan pemerintahan ini banyak hal yang menarik disimak. Misalnya, nanti orang akan berperang untuk memperebutkan ketersediaan energi, pangan, dan air. Maka, hal tersebut nantinya akan menjadi bisnis yang menguntungkan dan menentukan perekonomian dunia.
Indonesia sendiri memiliki banyak potensi untuk menangkap peluang tersebut. Pola bisnis yang akan berubah dari sektor finansial ke sektor riil juga cocok dengan potensi kita. Ekonomi kita yang sangat bagus baik secara global maupun regional membuka peluang banyak untuk memulai usaha. Peluang ini tentu harus dimanfaatkan karena tidak akan selalu datang.
Namun, sebelum melangkah ke peluang, saya menjelaskan mengenai tantangan. Tantangannya memang tidak sedikit. Misalnya di bidang infrastruktur yang masih perlu pembenahan. Selain itu, soal birokrasi juga perlu pembenahan. Soal tingkat kemudahan berusaha kita masih di urutan ke-115 dari 183 negara. Jadi masih harus ada perbaikan menyangkut penyederhanaan birokrasi, kepastian hukum, dan lain-lain. Selain itu, masih banyak tantangan lain yang perlu diselesaikan.
Namun tantangan itu jangan sampai membuat kita tidak bisa menangkap peluang yang ada. Ke depan peluang bisnis begitu terbuka. Bisnis yang peluangnya sangat baik menyangkut konsumsi-domestik, seperti; sandang-pangan-papan atau pakaian, makanan, dan tempat tinggal. Dari sini tentu banyak peluang yang bisa diciptakan.
Selanjutnya, peluang besar juga ada di bisnis yang menyangkut tiga hal berikutnya yaitu; kesehatan-pendidikan-hiburan. Misalnya soal rencana Trisakti membuka rumah sakit. Ini tentu rencana yang bagus untuk masuk dalam bidang kesehatan. Sebab selama ini peluang ini diambil oleh negara lain. Misalnya saja banyak orang Indonesia yang berobat ke Singapura, jumlah dananya kalau tidak salah mencapai USD2 miliar. Jika kita bisa membuat mereka berobat di dalam negeri, tentu akan menguntungkan.
Lalu soal pertanian yang merupakan bagian dari soal pangan tadi. Hal yang paling penting adalah tanah, karena tanah tidak dibuat lagi. Ini aset. Saya menyayangkan kenapa dana perbankan itu hanya lima persen untuk pertanian. Padahal, pertanian sangat besar potensinya. Selain itu, kenapa pemuda merasa gengsi bekerja di bidang pertanian. Padahal, potensinya sangat besar.
Saat jalan-jalan ke Puncak, saya melihat petani bisa menghasilkan tanaman yang sangat bagus. Namun mereka hanya mendapatkan sedikit hasil. Padahal hasil bumi tersebut dijual ke supermarket dengan harga berkali-kali lipat. Ini karena yang menguasai ilmu packaging, marketing, dan distribution bukan petani tapi pengijonnya.
Ini akibat kita tidak menguasai value added service di dalam industry. Yang pintar-pintar itu adalah negara-negara tetangga. Kita yang kerja keras, kita berkeringat, kita bercocok tanam, kita berusaha untuk menambang dengan risiko, tapi justru value added-nya diambil orang atau negara lain. Karena memang, Indonesia ini, dari sisi persentase industri primernya masih 20 persen. Kalau di negara maju sekitar 10 persen. Jadi, lebih ke sekunder dan tertier.
Soal industri hiburan, kita juga punya banyak peluang. Dengan kondisi infrastruktur yang belum maksimal saja pariwisata kita cukup bagus. Di Bali dan Nusa Tenggara setiap tahun datang 700 ribu wisatawan asing. Ini tentu sangat terbuka untuk ditingkatkan. Contoh lain, saat saya makan malam dengan pemilik bioskop Blitz. Dia bilang, di Bandung penonton Blitz mencapai 1 juta setahun, di Jakarta 700 ribu. Ini menunjukkan banyak peluang di sana.
Peluang memang besar, tapi tidak semua orang mampu menangkapnya. Karena untuk menangkap peluang ini dibutuhkan mental wirausaha atau entrepreneur mindset. Analogi mental wirausaha ini adalah ibarat melihat sebuah gelas berisi air setengah. Ini gelas setengah kosong atau setengah isi? Seorang entrepreneur tidak melihat gelas itu setengah kosong, tapi setengah penuh.
Jadi mereka melihat masih ada peluang untuk membuatnya jadi penuh. Mereka melihat peluang. Nah, untuk menjadi pengusaha ini diperlukan kekutan ide, fokus, mengetahui kelemahan dan kekurangan, dan sebagainya.
Kita mulai dulu dari ide. Ide ini sangat penting karena ide adalah awal dari sebuah usaha. Selanjutnya adalah fokus. Fokus penting karena akan menunjukkan di mana kita bermain. Misalnya Esia, fokus pada telepon murah. Atau Nexian yang awalnya fokus memperbarui telepon bekas dan sekarang berhasil menguasai 30-40 persen pasar.
Mengenali kelemahan dan memperbaikinya juga penting. Misalnya, produk Indonesia ini terkenal suka mengabaikan kualitas. Jika sudah laku kualitas cenderung menurun. Ini harus diperbaiki. Yang lebih fatal lagi, produk Indonesia kurang kuat dalam hal branding dan franchising. Padahal brand atau merek ini sangat penting.
Lihat saja Nike, yang terkenal sebagai produsen sepatu dan perlengkapan olahraga. Nike hanya bermain di branding. Dia tidak membuat sendiri sepatu atau barang lainnya. Bahkan desainnya saja disayembarakan ke masyarakat, dia akan beli desain yang bagus. Dia hanya fokus pada marketing dan penguatan merek. Saya berharap nantinya akan ada produk Indonesia yang brandnya sekuat Nike ini.
Terakhir yang penting dalam usaha adalah tidak takut gagal–namun juga jangan terlalu nekat. Perhitungkan kemungkinan kegagalan, tapi jangan takut menghadapinya. Tidak ada perusahaan yang tak pernah gagal atau terpuruk. Keberhasilan pun datang dari serangkaian kegagalan. Soal ini ada kutipan yang menarik dari pegolf Arnold Palmer: “Saya sering menang, karena saya juga sering kalah.”
Itulah cerita singkat mengenai pengalaman saya menjadi dosen dadakan di Trisakti. Semoga dengan blog ini, yang kemarin tidak ikut kuliah saya juga bisa mendapat ilmunya. Harapan saya semoga ini bisa berkontribusi dalam membantu menciptakan semakin banyak pengusaha muda Indonesia di masa mendatang.
Leave a Reply
INSTAGRAM
TWITTER
FACEBOOK