-
posted by Anindya Mar 28th, 2011
Di tulisan sebelumnya di blog ini, saya telah menceritakan pengalaman unik saya menjadi dosen dan wartawan dadakan. Nah, kali ini saya akan menceritakan pengalaman saya menjadi moderator diskusi. Ini juga merupakan pengalaman unik bagi saya. Unik, karena biasanya jika menghadiri kegiatan atau diundang dalam sebuah diskusi, saya menjadi pembicara, atau malah kadang hanya jadi penonton. Tapi kali ini dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Kadin Provinsi Kepri, Selasa, 22 Maret 2011 lalu, saya ditunjuk sebagai moderator.
Diskusi itu bertajuk “Refreshment Free Trade Zone di Batam, Bintan dan Karimun”. Hadir sebagai narasumber: Menteri Perindustrian MS Hidayat, Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Muhammad Sani, dan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto. Pesertanya beragam, pengusaha, praktisi hukum, pejabat pemerintah, akademisi, mahasiswa, dan lain-lain. Ini adalah pengalaman pertama saya menjadi moderator.
Meski saya sedikit beruntung karena menguasai tema diskusi, namun tetap saja menjadi moderator itu bukan pekerjaan mudah. Sebab moderator harus memimpin dan memandu diskusi agar fokus dan membuat diskusi menjadi interaktif. Moderator juga harus menjadi semacam wasit yang mengatur waktu bicara agar semua mendapat jatah bicara secara adil. Bahkan ada yang bilang sukses tidaknya atau menarik tidaknya sebuah diskusi, ditentukan oleh moderatornya. Terbayang kan beratnya tugas moderator?
Dalam diskusi tersebut saya coba membuat diskusi dengan gaya saya, santai tapi serius. Saya pun membuka diskusi dengan pantun agar suasana jadi sedikit cair. Salah satu pantun saya berbunyi begini: Bunga selasih, bunga kamboja/ Dipadu dalam jambangan keramat/ Kami haturkan terima kasih, tidak terhingga/ Dipercaya memandu, acara yang sangat terhormat.
Free Trade Zone (FTZ) sendiri diberlakukan pada 2009 setelah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009. Kebijakan itu sesungguhnya sangat bagus, utamanya dalam upaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi di Kepri maupun secara nasional melalui kawasan perdagangan bebas. Sebab, dengan pemberlakuan kebijakan itu, tiga kawasan: Batam, Bintan dan Karimun, bisa menikmati fasilitas bebas pajak dan bea. Dengan itu diharapkan dapat menarik banyak investasi dan menciptakan iklim usaha yang kondusif dan kompetitif. Muaranya ialah pertumbuhan ekonomi, yang nantinya bakal dimanfaatkan untuk pembangunan demi kesejahteraan rakyat.
Tetapi, seperti biasa, kebijakan ini mengalami banyak kendala dalam penerapannya. Belum ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai peraturan pelaksana PP Nomor 2 Tahun 2009, yang menegaskan status Batam, Bintan dan Karimun sebagai kawasan perdagangan bebas. Aturannya belum jelas meski sudah didukung Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007. Contohnya, dalam UU dan PP itu memuat fasilitas bebas pajak pertambahan nilai, pajak pendapatan dan bea masuk. Namun, soal prosedur perizinan, sama dengan wilayah pabean lainnya.
Begitu juga peraturan pemerintah tersebut mengatur tentang master list. Padahal, master list menjadi penghambat masuknya barang ke kawasan industri. Persoalan makin kompleks, karena hubungan yang tidak harmonis antara Dewan Kawasan FTZ, Badan Pengusahaan Batam, dan Pemerintah Kota Batam. Akibatnya, pengurusan izin pun makin berbelit.
Nah, masalah-masalah itulah yang hendak dicarikan solusinya dalam diskusi yang saya moderatori dengan narasumber yang sangat kompeten di bidang ini.
Gubernur Kepri, Muhammad Sani, yang saya beri kesempatan pertama, menjelaskan bahwa tumpang-tindih regulasi yang dikeluarkan Pemerintah Pusat, ditengarai menjadi penyebab ketidakoptimalan pelaksanaan Free Trade Zone di kawasan Batam, Bintan dan Karimun. Dia mengatakan FTZ sudah dua kali diluncurkan, namun selalu dicemari dengan tumpang-tindihnya regulasi yang dikeluarkan Pemerintah Pusat sehingga pelaksanaannya menjadi stagnan. Beberapa regulasi yang menjadi penyebab tumpang-tindih itu, antara lain aturan mengenai kepabeanan serta Peraturan Menteri Keuangan nomor 45, 46 dan 47. Padahal, apabila tidak terjadi tumpang-tindih regulasi, pertumbuhan ekonomi Kepri akan luar biasa.
Lalu, giliran berikutnya saya berikan untuk Pak Menteri Hidayat. Pak Menteri berbicara seputar revisi PP Nomor 2 Tahun 2009. Dalam paparannya mantan Ketua Umum Kadin Indonesia itu mengatakan pemerintah kini mengakomodasi aspirasi kalangan pengusaha. Misalnya, menghapuskan pajak berganda untuk mendukung peningkatan daya saing Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) di Batam, Bintan dan Karimun. Bea masuk, pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan,serta cukai dan pajak yang terkesan pajak berganda, juga pajak atas penyerahan barang angkutan udara dan jasa telekomunikasi di KPBPB di Batam, Bintan, dan Karimun, akan dihapuskan melalui perubahan PP Nomor 2 Tahun 2009.
Pemerintah pusat sudah sejak empat tahun meresmikan KPBPB Batam, Bintan, dan Karimun. Tetapi, regulasi pelaksanaannya, terutama PP Nomor 2 Tahun 2009 tentang “Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Serta Berada di Kawasan yang Telah Ditunjuk Sebagai KPBPB”, dikeluhkan pelaku usaha. Sebab, tidak berbeda dengan daerah-daerah lain yang bukan FTZ.
Keluhan dan aspirasi para pengusaha, kata Pak Menteri, diakomodasi pemerintah yang sejak semula menghendaki BBK tumbuh menjadi daerah berdaya saing tinggi dan mampu menarik banyak investor, menciptakan berbagai lapangan kerja, mendukung pertumbuhan perekonomian daerah dan nasional dalam menghadapi globalisasi ekonomi. Rancangan revisi PP Nomor 2 Tahun 2009 yang pada dua bulan silam dibahas di Kementerian Ekonomi diikuti Gubernur Kepri, sudah berada di kantor Menteri Keuangan dan diharapkan segera terbit.
Menurut Pak Menteri, dalam PP edisi revisi itu juga akan ditetapkan koordinat KPBPB BBK guna lebih memberi kepastian hukum. Antara lain, mengenai Pulau Janda Berhias di Kota Batam yang kini masuk ke KPBPB Batam dan sudah ada investor dari Cina di pulau tersebut. Untuk menjawab keluhan para pengusaha, katanya, PP yang baru akan membolehkan pemasukan barang tidak hanya di pelabuhan tertentu melainkan dapat di semua kawasan kepabeanan. Demikian pula penghapusan penetapan jumlah dan jenis barang sepanjang untuk keperluan industri, serta pengecualian ketentuan pemasukan barang dari luar ke KPBPB sepanjang untuk keperluan industri.
Terakhir adalah giliran Ketua Umum Kadin Indonesia, Suryo Bambang Sulistyo. Pak SBS, begitu ia akrab disapa, mengatakan, menurut data Kadin, invenstasi asing di Kepulauan Riau sepanjang 2010 mencapai U$D 114,5 juta. Katanya, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen, Kepri masih membutuhkan investasi sebesar U$D 5,6 miliar dalam kurun waktu lima tahun. Dia juga menyayangkan daerah Rempang Galang yang belum tergarap.
Padahal, daerah itu memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Dia mengaku sedih melihat Barelang. Di sana sudah ada jembatan. Sudah dibangun begitu cantik, tetapi masyarakat di sana belum merasakan perkembangan. Karena itu dia berharap daerah tersebut bisa segera tergarap agar pembangunan jambatan tidak sia-sia. Saya bersyukur, masing-masing narasumber dapat menyampaikan paparannya secara proporsional dan memakai waktu yang disediakan dengan baik.
Kalau pun ada yang melebihi jatah waktu, tidaklah terlalu banyak lebihnya. Tapi yang menjadi masalah berikutnya bagi saya adalah memberikan kesempatan secara proporsional kepada para peserta untuk bertanya dan menanggapi. Ada lebih dari 500 orang di ruang diskusi di ballroom Planet Holiday Hotel itu, dan sebagian besar ingin bicara. Ini benar-benar tidak mudah karena hanya tersedia sedikit waktu untuk enam orang yang dibagi dalam dua sesi. Karena itu saya sebagai moderator harus jeli dan mampu memilih orang yang akan diberi kesempatan untuk bertanya, berpendapat atau memberikan saran-masukan, agar pembicaraan tetap fokus dan terarah.
Ternyata sulit sekali melakukan hal ini. Beberapa di antara mereka bicara terlampau panjang serta tidak fokus pada masalah-masalah yang ada. Sudah diingatkan tetapi tidak cukup berhasil.
Bahkan, ada satu di antaranya bertanya seputar perubahan nomor polisi kendaraan bermotor di wilayah Kepri, yang di luar topik diskusi. Dua narasumber, yakni Pak Menteri Hidayat dan Pak SBS tentu tidak kompenten bicara itu. Pak Gubernur Sani hanya menjanjikan akan menjelaskan perihal itu di lain kesempatan.
Andai enam orang yang diberi kesempatan bicara itu fokus dan to the point, barangkali masih bisa ditambah dua peserta lagi untuk bertanya atau hanya menanggapi. Tapi, ya, begitulah adanya. Sekedar mempersilakan orang untuk bicara, bukan perkara sulit. Tetapi, memandu dan mengendalikan banyak orang bicara agar tetap fokus dan terarah dalam suasana yang rileks, tidaklah gampang.
Dari pengalaman menjadi moderator itu saya memetik pelajaran bahwa menjadi moderator yang baik bukan semata perkara penguasaan teori menjadi moderator, atau pemahaman seputar topik diskusi, tetapi lebih dari itu: ‘jam terbang’ alias pengalaman juga menentukan. Akhirnya saya menutup diskusi tersebut dengan sebuah pantun: Buah semangka, buah melon/ Enaknya dibelah diminum tengah hari/Semoga pemberlakuan Free Trade Zone/ Membawa berkah bagi rakyat Kepri.
Leave a Reply
INSTAGRAM
TWITTER
FACEBOOK