-
posted by Anindya Sep 2nd, 2011
Masih ingat dengan Dora, gadis yang menderita “keringat darah”? Jumat,19 Agustus 2011 lalu, saya kembali bertemu dengannya di kantor Dompet Dhuafa, Wisma Nugra Santana, Jakarta.
Pertemuan saya dengan Dora untuk kali pertama adalah saat ikut menjenguk dia bersama ayah saya, Pak Ical, dan adik saya, Ardi Bakrie, serta istrinya, Nia Ramadhani, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, bulan Juni lalu.
Saya pertama kali mengetahui kisah Dora Indriyanti Tri Murni dari pemberitaan media massa. Mahasiswi Universitas Bung Hatta, Padang ini, menderita penyakit langka dan misterius. Penyakit misterius ini membuat darah segar kerap keluar dari pori-pori kulit kepala, bahkan mengucur dari telinga, mulut, dan hidungnya. Ini terjadi jika Dora banyak berfikir atau stres. Bahkan dokter Shupri Effendy dari RSCM mengatakan kasus ini penuh kejanggalan, dan penyakit Dora ini menjadi headline di dunia kesehatan.
Terus terang saya merasa trenyuh, terharu, dan bersimpati melihat kondisinya. Apalagi, setelah menjenguk langsung di RSCM dan mendengar cerita betapa gadis berusia 25 tahun ini selama ini bekerja keras membanting tulang demi menghidupi keluarganya. Bayangkan saja, sebagai tulang punggung keluarga, Dora harus membiayai kuliah sendiri ditambah membiayai sekolah tiga adiknya.
Ia bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut. Wanita perkasa ini pernah bekerja sebagai tukang ojek di simpang Bandara Internasional Minangkabau, Padang. Sebelumnya, dia pernah melakukan pekerjaan yang umumnya dikerjakan laki-laki, seperti kernet angkutan kota, kuli bangunan, hingga menjadi petugas keamanan (satpam) di Pembangkit Listrik Tenaga Gas Pauh, Kota Padang. Dia mengaku hanya tidur dua jam dalam sehari akibat aktivitasnya itu.
Dora merupakan pribadi luar biasa. Darinya kita bisa belajar tentang makna bersabar, tanggungjawab dan kesungguhan untuk mengubah sebuah nasib. Ia tidak menyerah dan hanya berhenti mengeluh meratapi nasibnya. Dora mencoba menantang kerasnya kehidupan dan ingin mengubahnya dengan sebuah kerja keras. Karena agama juga mengajarkan : Tuhan tidak akan mengubah nasib sebuah kaum, sampai kita berupaya mengubahnya sendiri. Setelah semua kerja keras, kita tinggal berdoa berpasrah diri dan membiarkan Tuhan mengerjakan bagiannya.
Karena itu, saat menjenguk Dora di RSCM, keluarga saya berkomitmen membantu gadis asal Sumatra Barat ini. Di kamar perawatannya di Gedung A, RSCM, ayah saya mengatakan akan membantu melalui Yayasan Bakrie Untuk Negeri yang saya pimpin bekerja sama dengan Dompet Dhuafa.
Setelah itu, saya tidak lagi bertemu Dora, sampai dia keluar dari RSCM dan kembali ke Padang. Akhirnya bulan Ramadan lalu saya dikabari akan bertemu dengan Dora di acara Dompet Dhuafa. Acara ini juga sekaligus menjadi acara penyerahan bantuan yang dulu dijanjikan keluarga saya. Maka pada hari Jumat siang, disepakati acara pertemuan dengan Dora di kantor Dompet Dhuafa di kawasan jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Siang itu, usai sholat Jumat, saya langsung meluncur ke lokasi. Siang itu jalanan Jakarta sangat padat. Hingga waktu yang dijanjikan untuk acara itu, saya masih terjebak macet di Jalan Sudirman. Kebetulan saya ada di seberang gedung tempat acara. Jika melanjutkan perjalanan ke gedung itu dengan mobil, maka saya akan sangat terlambat. Karena itu, saya kemudian memilih keluar mobil dan berjalan kaki menyeberang melalui jembatan penyeberangan.
Akhirnya, saya kembali bertemu Dora. Sepintas kondisinya terlihat sudah lebih baik dari saat saya menjenguknya di RSCM dulu. Ia banyak tersenyum. Namun, menurut cerita Dora, keluarganya, dan tim dari Dompet Dhuafa; kondisi Dora belum sepenuhnya membaik. Keringat darah masih mengucur dan belum dapat disembuhkan. Dia masih rutin menjalani pengobatan di Padang dan RSCM.
Setelah berbincang-bincang dengan Dora saya kemudian secara simbolis menyerahkan bantuan kepada Dora dan keluarganya–senilai yang diajukan tim Dompet Dhuafa untuk memenuhi kebutuhan biaya pengobatan dan pendidikan Dora beserta ketiga adiknya selama setahun. Dompet Dhuafa yang akan mengawasi penggunaan bantuan tersebut agar efektif dan tepat sasaran.
Harapan kami, bantuan ini dapat meringankan beban Dora. Sekarang, Dora memang sudah tidak bekerja lagi, juga belum menjalani kuliah seperti biasa. Ia harus menjalani perawatan intensif, tidak hanya secara fisik tapi juga psikis. Dalam satu pekan, dia harus ke psikiater, juga terus berkonsultasi dengan dokter khusus di Rumah Sakit Djamil, Padang.
Sepulang bertemu Dora, ada semacam perasaan lega dan syukur kami bisa membantu meringankan bebannya. Bersyukur karena kami masih diberi nikmat rezeki dan kesehatan yang sangat mahal harganya. Terkadang dalam kesibukan, kita lupa bersyukur atas semua nikmat yang diberikan.
Kami menyadari masih banyak di luar sana mereka yang hidupnya kurang beruntung yang juga membutuhkan bantuan. Kami tentu tidak mungkin bisa menjangkau semuanya. Karena itu mari kita sama-sama meringankan beban saudara-saudara kita yang membutuhkan. Siapa saja, semampu kita. Marilah kita perbanyak syukur, berbagi dan ikhlas. Harus kita sadari diantara sebagian harta kita terdapat hak orang lain.
Leave a Reply
INSTAGRAM
TWITTER
FACEBOOK
-